watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

JANJIKU TERHADAP IRA

Namaku adalah Arif (samaran) adalah siswa
salah satu SMA negeri ternama di kotaku di
provinsi. Aku sudah lama naksir sama cewek
SMA tetangga, yah sebut saja Ira (samaran men,
untuk menjaga nama baik). Anaknya cantik,
banyak yang naksir sama dia, cukup populer
juga disekolahnya. Sebenarnya, aku belum
berani ngungkapin perasaanku ke Ira, boro-boro
nembak, mau sms aja aku sudah gemetaran.
Hahaha…maklum bro, aku ada masa lalu yang
pahit, jadi trauma mau ndeketin cewek.
Lalu, aku punya sahabat namanya Rangga dan
Tama, merekalah yang selalu menjadi tempatku
berkeluh kesah kalau menyangkut masalah Ira.
Suatu hari, saat disekolah sedang tidak ada
pelajaran, aku keluar kelas, mendengarkan lagu
menggunakan headset sambil melamun tentang
Ira. Aku begitu terbawa dengan lamunanku
sehingga tanpa sadar, Rangga dan Tama sudah
berdiri di sebelahku.
”Woy, kamu lagi ngapain heh! Kesambet ntar
loh!”, Rangga memukul punggungku
menggunakan buku ekonomi yang tebalnya 200
halaman. Sontak aku loncat berdiri.
”Heh setan, kamu pengen aku mati jantungan?!”
semprotku.
”Apa lah Rif? Mesti lagi mikirin komandan yah?
Hahahahaha” Tama ngikut percakapan kami. Aku
dan Tama biasa menyebut Ira dengan call-sign
“komandan”.
“Alaaaa….Ira mulu dipikirin. Kafe Blabag yuk!
Laper neh coy!”, Rangga menyahut.
”Gak! Ogah! Gak ada duit!”, jawabku sinis.
”Hah? Tam, rika percaya?” ,tanya Rangga ke
Tama dengan logat Jawa-nya yang kental.
”Ora..ora..bocah kaya iki koh.” ,jawab Tama
dengan aksen yang tak kalah kental
Rangga dan Tama adalah anak pindahan dari
daerah apa lah namanya. Mereka sering bicara
dengan bahasa ibu mereka.
”Laaah…pada ngomong apa sih? Gunakanlah
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar! Aku ga
paham nih!” ,potongku dengan ekspresi datar.
”Hahahahaha…makanya kalo guru ngajar bahasa
Jawa dengerin dong!”,tawa Rangga sinis.
”Udah lah, ikut aja yuk! Cepetan…ntar kita traktir
deh! Mumpung pak Junaedi gak ngajar! Bentar
lagi juga bel pulang kan?”, kata Tama sambil
menarik tanganku.
Sebenarnya aku malas, tapi daripada didepan
kelas kaya orang bego, lebih baik ikut mereka,
maka aku masuk ke kelas dan keluar sambil
membawakan tas Rangga dan Tama dan juga
tasku sendiri. Kafe Blabag terletak di
persimpangan dekat sekolahku, Cuma butuh 5
menit jalan kaki. Aku menggendong ranselku
dengan malas. Memang, hari ini perasaanku
tidak enak.
Setelah berjalan beberapa menit, tampaklah kafe
Blabag dengan motor-motor pengunjung yang
berderet rapi. Aku melihat ada satu motor yang
sangat kukenal, darahku berdesir. Sekilas kulirik
Tama dan Rangga, mereka seperti menahan
senyum. Perasaanku semakin tidak enak. Kami
pun masuk kafe, kulihat di bagian pojok kafe, ada
beberapa cowok dan cewek. Semuanya masih
memakai seragam SMA. Tidak ada seorangpun
yang kukenal.
”Yo!”, sapa Rangga kepada salah satu temannya.
”Yo! Kabur Ngga? Hahahahaha”,sahut temannya.
Kalau nggak salah, namanya Setyo, anaknya
tinggi besar, khas preman terminal.
”Hei Luna. Udah lama nunggu?”,tanya Tama
kepada salah satu cewek yang (setahuku) ditaksir
berat sama Tama. Kemudian mereka ngobrol
berdua.
Sejenak kemudian mereka semua sudah ramai
ngobrol ngalor ngidul gak karuan. Aku cuma
duduk manis mendengarkan dan sesekali
tertawa kalau ada hal-hal lucu (gak ada yang
kenal coy!). Aku melamun, prasaanku masih
tidak enak sewaktu lihat motor yang diparkir
didepan tadi. Aku yang tidak tahu apa-apa
dengan polosnya memasang headset,
menunduk dan sibuk memilah-milah lagu dari
HP ku. Setelah kutemukan lagu yang pas, aku
menyetelnya dan telingaku dipenuhi alunan
musik favoritku, aku tersenyum dan
menengadahkan kepala.
Aku tercekat. Seakan-akan ada seorang kuli
bangunan veteran yang mencekikku. Di
hadapanku Ira berdiri, kedua tangannya
dimasukan saku jaket. Dia menatapku sambil
tersenyum, manis sekali. Aku semakin megap-
megap.
“Headsetan aja! Ntar budek loh!”,kata Ira sambil
menyambar headsetku.
”Laporan dulu gih sama komandanmu!”,Tama
menyikut lenganku.
Entah kenapa, mungkin karena terkesima dan
kaget, aku hanya mampu berbicara dengan tidak
jelas, “Haah? Koman….dan? Haaaaahh?”,ucapku
tak jelas.
Semuanya tertawa keras sekali, Rangga tertawa
sampai mengeluarkan air mata, dan Setyo
memukul-mukul meja sambil tertawa. Entah
seperti hewan apa mukaku saat itu, setolol apa,
aku tidak tau, tapi yang jelas aku malu sekali. Aku
tidak menyangka kalau Ira adalah salah satu dari
kelompok kami ini.
Kemudian aku ikut aktif ngobrol bareng, ternyata
mereka semua anak-anak yg baik & supel,
ramah pula. Segera saja aku mendapatkan
tempat dalam kelompok ini.
Sejak saat itu, kami sering main bersama dan
aku mulai hafal anggota geng kami satu persatu.
Aku jadi dekat dengan mereka, dan karena
mereka juga, aku jadi bisa mendekati Ira lebih
jauh.
----------------------------------------------------------------------------------
Kami semua semakin akrab. Waktu itu kebetulan
kami main bersama-sama.
Kami memutuskan untuk berjalan-jalan di mall.
Anak-anak cewek yaitu Angel, Ira, Luna dan Dian
berencana melihat-lihat pakaian sementara aku,
Tama, Setyo, dan Rangga akan melihat pameran
gadget yang diadakan di lantai 5 mall tersebut.
Kami berangkat menggunakan mobil Rangga
yang cukup besar.
Seperti kebanyakan cewek-cewek kota, Angel,
Luna dan Dian mengenakan kaos dan hotpants,
namun Ira mengenakan kaos dan celana jeans
panjang. Memang Ira memakai kaos yang cukup
tertutup namun ketat dan dibagian dadanya agak
longgar sehingga memperlihatkan bentuk
tubuhnya yang seksi dan belahan dadanya yang
menantang.
Aku duduk disebelah Rangga yang menyetir,
sementara Angel, Luna, Dian dan Ira duduk
berdesakan di bangku tengah dan Setyo serta
Tama duduk dibangku paling belakang.
Di mobil, anak-anak cewek sibuk berkicau
”Eh Ira, kamu seksi banget deh…” celoteh Angel
”Iyaa…kesannya gimana gitu…hahahaha” kata
Dian dilanjutkan dengan tawa cewek-cewek lain.
Ira kelihatan salah tingkah dan berusaha
menutupi bagian dadanya yang agak terbuka.
”Ah masa sih…kaosku lagi di cuci semua…aku
nggak tau kalo kaos ini kekecilan”
Kemudian mereka meributkan masalah lain,
seputar kosmetik, trend fashion dan banyak hal
tetek bengek lain yang tidak penting bagi para
cowok. Tama dan Setyo sedang sibuk
membicarakan salah satu handphone di majalah
gadget yang dibawa Rangga. Aku pura-pura
memainkan handphone, walaupun aku sesekali
melirik belahan dada Ira yang duduk di bangku
tengah namun berseberangan dengan aku. Aku
menelan ludah.
Ketika hampir sampai di mall, tiba-tiba hujan
deras turun.
”Waaah…ujan nih, mana tempat parkiran
basement penuh lagi. Guys, cari tempat lain
yuk…” ujar Rangga
”Wuuuu….nggak mau! Kan disana ada pinjaman
payung!” jawab anak-anak cewek kompak
”Oke…oke…whatever…hehehe” Rangga tertawa
ringan dan mengarahkan mobilnya masuk ke
parkiran mobil yang ada di tempat terbuka.
Setelah mobil kami diparkir, kami turun dan
berlari ke sebuah kanopi. Kebetulan saat itu ada 3
tukang parkir yang akan kembali ke pintu masuk
mall, mereka membawa 4 payung. Maka
semuanya meminjam payung dari ketiga tukang
parkir tersebut. Aku dan Ira tertinggal dibelakang.
Aku melihat mereka semua menembus hujan
menggunakan payung sementara aku dan Ira
hanya menatap mereka.
Sudah 5 menit berlalu, namun belum ada orang
yang menjemput kami.
”Lari aja yuk? Nggak sampai 100 meter inih”
ucapku kepada Ira
Ira hanya mengangguk. Kami berlari menembus
hujan yang ternyata cukup lebat itu.
Ketika kami sampai di pintu masuk mall, kami
sudah basah kuyup, tetapi aku tidak terlalu basah
karena jaketku yang water-proof.
”Waduh…maaf ya…tadi tukang parkirnya malah
pergi nggak tau kemana” kata Rangga
”Iya. Kita mau minjemin payung buat kalian
malah mereka pergi. Mana payungnya dibawa
semua lagi” Angel menggerutu
Aku mengangguk. Kulirik Ira, ia kedinginan,
tubuhnya basah kuyup. Gilanya lagi, karena
kaosnya basah, maka setiap lekuk tubuhnya
yang indah tercetak jelas dan belahan dadanya
kini lebih terekspos. Aku menelan ludah
melihatnya.
Kami melangkah masuk ke mall. Kuperhatikan,
setiap pasang mata disana memperhatikan
belahan dada Ira yang terlihat sangat
mengesankan. Teman-teman yang lain tidak
tahu karena mereka berjalan di depan.
Ira mati-matian berusaha menutupi dadanya, ia
terlihat malu sekali dan tidak berani menatap
orang-orang di sekeliling kami, lebih parahnya
lagi, ia menggigil. Aku kasihan melihatnya, maka
aku segera berlari ke counter minuman terdekat
dan membeli segelas teh hangat kemudian
kembali kesampingnya.
”Nih…” aku menyodorkan teh itu padanya
“Makasih Rif” jawabnya pendek. Ira langsung
meminum teh hangat tersebut, namun agak
canggung karena ia juga harus menutupi
tubuhnya yang menjadi tontonan setiap orang di
mall itu. Ketika ia mengangkat lengan untuk
meminum dari gelas tadi, lekuk buah dadanya
sangat jelas terlihat. Aku melotot melihatnya dan
tiba-tiba ‘adik’ ku menjadi tegang, namun cepat-
cepat kusingkirkan pikiran kotor itu.
Aku merasa iba, maka kulepas jaketku dan
kupakaikan kepadanya lalu kurangkul tubuhnya.
Terdengar seruan kecewa dari berbagai penjuru
ketika tubuh Ira yang eksotis itu tertutupi jaketku.
Aku menatap tajam kepada sekelompok cowok
yang dari tadi tertawa-tawa sambil menunjuk
Ira, ketika mereka sadar bahwa aku sedang
memelototi mereka, mereka segera bubar.
Ira kaget melihat perlakuanku namun tidak
menolak. Ia menatapku, tatapan yang tidak akan
pernah kulupakan. Tatapannya menghujam
begitu dalam, aku goyah.
Aku tidak kuasa menatap matanya lebih lama,
maka aku melepaskan pelukanku dari bahunya
dan memperlambat langkahku sehingga kini aku
berada paling belakang. Aku malu, canggung
dan merasa tidak enak dengan perlakuanku.
Awalnya aku merasa bahwa Ira akan marah
besar kepadaku. Tetapi ternyata tidak, ia tetap
bercanda denganku seperti biasa, namun
kadang-kadang kupergoki dia sedang melirik ke
arahku. Deg-degan juga, apa ini berarti ia ada
perasaan kepadaku?
Suatu ketika, di kotaku ada acara besar…
perayaan apa gitu, aku tidak ingat. Teman-teman
satu geng ku mengajakku nonton pawai yang
diadakan di alun-alun kota. Tetapi aku menolak,
berhubung hari ini aku ingin cepat pulang.
Kebetulan rumahku jauh dari alun-alun dan
pusat kota. Sepanjang perjalanan pulang, aku
hanya papasan dengan beberapa orang, itu saja
mereka sedang menuju ke alun-alun.
Selebihnya, kota ini seperti kota mati. Aku sangat
heran, sebegitu meriahnya kah perayaan itu?
Aku mengendarai motorku dengan santai, ketika
sampai di perempatan, kulirik lampu lalu lintas;
“Hijau, tancep cuy!”, pikirku. Di tengah-tengah
persimpangan tiba-tiba ada sebuah motor (Tiger
kalo nggak salah) melaju ke arahku dengan
kecepatan tinggi, kelihatannya pengemudinya
mabuk, tanpa helm, matanya merah dan
mukanya kusut, aku menginjak rem, tapi
sepertinya dia sengaja membelokkan motornya
mengikuti gerakan motorku. Aku tercengang.
Jarak kami tinggal 1 meter.
“Anjrit! Salahku apa sih?!”,umpatku dalam hati.
BRUAAKK!!! Sempat kulihat aspal yang menjauhi
pandanganku dan…..PET! Semuanya gelap.
---------------------------------------------------------------------------------
Hal pertama yang kurasakan adalah nyeri dan
dingin di lengan kanan.
”Ah…aku dimana? Perasaan tadi aku tabrakan
deh…apa aku udah mati?”,tanya ku dalam hati.
Kuberanikan diri membuka mata. Aku sedang
berbaring di sofa. Langit-langit yang putih,
aroma parfum yang manis, samar-samar
kuingat bau parfum ini. Aku menoleh ke kanan
dan kiri, kulihat teman-temanku duduk didekatku
satu persatu, Ade, Feby dan….Ira!! Nafasku
tertahan.
”Masih idup Rif? Hahahaha…”,canda Feby
kepadaku
”Mujur banget loh kamu, Cuma memar di
lengan doang! Motormu jadi rongsokan tuh
dihalaman. Ga ada orang yang nolongin, pas
ketemu Ira. Tapi…masa cowok pingsan
sih?”,Ade menimpali sambil tertawa.
”Aduh! Loh kok pada disini?”,tanyaku sambil
meringis menyentuh lengan kananku.
”Tadi aku dijalan pulang liat kamu lagi tidur di
jalan, motormu ancur noh…jadi aku SMS Ade
sama Feby, soalnya yang lain pada kejebak
macet…alun-alun macet total, pas banget si Feby
sama Ade belom berangkat, jadi mereka
kusuruh kesini nolongin kamu”,jelas Ira panjang
lebar sambil mengompres memar di lengan
kananku.
Oooh….jadi ini sensasi dingin yang tadi
kurasakan? Darahku berdesir…
”An angel speak to me…”,gumamku lirih.
”Hah? Apa Rif? Kamu ngomong apa? Pasti
ngomong yang nggak-nggak nih! Dia
ngomongin kamu loh Ra!”,cerocos Ade dengan
cepat sambil nyengir.
”Apa? Apa iya? Kamu ngomong apa hah
barusan?”,tanya Ira kepadaku.
”Ah nggak kok…nggak papa…gausah dipikir…
hahahahaha”,jawabku.
Feby melirik jam tangannya, kemudian berkata,
“Eh..eh…aku sama Ade pergi dulu yah? Uda di
tungguin gebetan neh..hehehe…malem minggu
cuy…hahaha”.
”Ehem…tau lah…tau…yang masih
jomblo….”,sahut Ira sambil tertawa
”Cus yah men! Rif, nyetir yang bener dong!
Hahahaha…yuk Ra, duluan yah!”,ujar Ade sambil
mengambil helmnya.
”Okeh men? Duluan ya!!”,kata Feby sambil
tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada
maksud lain dari senyuman Feby.
Ira mengantar Feby dan Ade keluar. Kulihat HP
Ira tergeletak di atas meja, aku tidak mengerti
kenapa, tapi aku langsung mengambil HP itu dan
membuka inbox nya. Aku kaget…ternyata sangat
banyak SMS yang isinya mengajak kenalan Ira,
bahkan ketika aku sedang membaca SMS itu,
masih ada saja SMS yang masuk. Lalu kulihat
sent messages nya…aku tidak percaya dengan
apa yang kulihat…Ira hanya membalas SMS ku
dan teman-teman se geng ku…dan yang paling
banyak adalah balasan SMS untukku. Memang
sejak kejadian di kafe, aku dan Ira jadi sering
SMS-an.
”Wawawawawawa……!!”,teriakku dalam hati
karena senang.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Ira
masuk.
”Eh, Rif, kamu udah makan apa bel………”,ucapan
Ira tiba-tiba terpotong begitu melihatku tengah
asyik memainkan HP nya.
DEG!
Aku kaget setengah mati.
”Aduuhh…..bego! Bego!! Ntar bisa-bisa dia marah
nih! Duuh..gimana yah?”,batinku panik.
”Udah makan belum kamu? Aku mau bikin mie,
kamu mau nggak?”,ucap Ira seraya merebut HP
nya dari tanganku lalu duduk di lantai di
sebelahku. Kulihat dia mencoba menahan
emosinya.
”Eh…euh….udah…aku udah makan
kok…..hehehe”,jawabku salah tingkah.
Keheningan yang tidak enak menyelimuti kami.
Aku dan Ira sama-sama panik dan salah tingkah.
Akhirnya kuputuskan untuk membuka
percakapan.
”Eh…aku sekarang dimana nih? Dari tadi aku mau
tanya lupa-lupa terus”,tanyaku sekenanya
”Ini rumahku…kamu kecelakaan dekat sini.
Karena ga ada orang lain, jalan juga bener-bener
sepi, makanya kamu kubawa kerumah aja.”,Ira
tersenyum canggung.
”Serius nih? Aku di rumahmu? Aku ga enak woi
sama keluargamu, aku kan cowok!”,ujarku
dengan cepat.
”Gak apa-apa kok…semua lagi di toko, jadi ga
ada orang disini”,jawabnya lirih.
“Jadi…kita…cu..cuma..ber…berdua di
sini?”,tanyaku terbata-bata.
Ira hanya mengangguk pelan, dia menunduk
kemudian menatap HP nya. Sekilas kulihat rona
merah di wajahnya. Aku mencoba duduk dan
tidak mempedulikan lenganku yang memar.
”Eh, jangan duduk dulu!”,cegahnya sambil
memegangi tanganku.
Aku kaget, otomatis aku tatap matanya. Kami
berdua bertatap-tatapan lama. Matanya yang
teduh menunjukkan kedewasaan dan kasih
sayang. Aku benar-benar speechless.
Memar di lenganku benar-benar tidak terasa.
Beberapa detik kemudian Ira yang sadar duluan,
dia tersipu.
”Oh iya. Aku bikin mie dulu ya…”,katanya
mengalihkan keadaan.
Aku hanya diam…
Ketika dia berdiri, kutarik tangannya dengan
cepat hingga wajah kami saling berdekatan.
Tubuhnya lebih tinggi sedikit dariku, mungkin
sekitar 170 cm, kulitnya putih, langsing, dan
buah dadanya tidak besar-besar amat namun
menantang dan kelihatan sangat merangsang.
Proporsional, lah. Rambutnya yang panjang
lurus sebahu hitam dan terawat.
Ira menatap mataku dalam-dalam…sejenak aku
ragu…”Haruskah?”,pikirku.
Kudekatkan bibirku, sepertinya Ira tidak
merespon, maka aku melanjutkannya.
Kukecup bibirnya dengan penuh kasih sayang…
dengan sepenuh hati. Tidak ada protes darinya,
bahkan Ira malah memejamkan mata.
Kutarik dia dengan lembut dan kududukkan di
sebelahku. Aku masih mencium bibirnya.
Sensasi yang kurasakan luar biasa, bibirnya
hangat dan lembut. Kami berciuman kira-kira 3
menit. Dalam jangka waktu segitu, siapa sih
yang gak terbakar nafsunya? Hehe…
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Ira
sudah membuka matanya dan matanya
menerawang ke langit-langit. Aku tidak tau apa
yang dia pikirkan. Kusibak rambutnya, kemudian
kulihat lehernya yang jenjang dan bersih, serta
tercium wangi parfumnya.
Kucium leher kirinya.
”Mmmmmhh….”,Ira agak mendesah, dia
meremas kedua tanganku.
Kubalikkan badannya, sekarang dia duduk
membelakangiku. Kemudian kembali ku cium
lehernya. Nafasku membuatnya geli.
”Uuuuuh…”,desahnya mulai tak terkendali
Tanganku membuka kancing seragamnya satu
persatu. Ira memegangi tanganku, tetapi tidak
melakukan perlawanan. Yaa otomatis kupikir ini
lampu hijau. Heehehehe…
Setelah setengah seragamnya terbuka, kulihat
bra nya yang berwarna krem, yang langsung
kuturunkan. Kini dapat kulihat payudaranya,
yang ternyata cukup besar dengan puting
berwarna pink. Kulitnya luar biasa mulus.
”Ehm….ehm…!!”,Ira berdehem menyindir
perlakuanku.
”Apaaaa? Kenapaaa??”,jawabku sambil nyengir.
Kuraba kedua payudaranya dengan tiba-tiba.
Tubuhnya mengejang sekali, kaget kali yaa?
Langsung saja kuremas kedua payudaranya
dengan lembut dan kupagut bibirnya.
”Nnnggggghh……mmmhh…!”,desahnya diantara
ciuman kami.
Kupilin kedua putingnya. Kumainkan jari-jariku di
kedua payudaranya.
”Nngg….aaaaahh….aaaahh…!”,Ira melepaskan
bibirku dan lebih berkonsentrasi mendesah.
Aku tidak keberatan, biar dia merasakan rasanya
jadi cewek.
Punggungku mulai kesemutan, maka
kurebahkan Ira di sofa, namun dia menolak.
”Jangan….jangan…aku nggak mau…!”,ujarnya
dengan nafas yang mulai memburu.
Aku memandangnya dengan bingung. Ira
mengelus pipiku, matanya sayu khas cewek
terangsang.
”Maksudku….jangan…disini…pindah ke kamarku
aja yuk”,katanya sambil tersenyum.
Waduh….bisa berabeh ni kalo di kamar, ntar
kebablasan bisa repot! Tapi, instingku
mengabaikan logika. Hehehehe….segera saja
kuangkat tubuhnya dan kugendong, kalau sudah
seperti ini, tangan patah pun tetap akan
kugendong, hehehehe.
”Yang mana nih?”, aku tersenyum
”Itu”, jawabnya singkat sambil menunjuk
sebuah pintu.
Tanpa buang waktu, kubuka pintu kamarnya,
kubaringkan Ira di kasur dan cepat-cepat kututup
pintu dari dalam. Langsung saja kulanjutkan
permainan yang tadi sempat berhenti. Aku
berbaring di sebelah kanannya dan mulai
menciumi lehernya.
”Uuuh….uuuhh….”, Ira mendesah sambil
mengrenyitkan alisnya.
Tanganku perlahan-lahan masuk ke dalam
roknya. Kususuri dari perut dengan penuh
penghayatan. Ketika akhirnya tanganku meraba
celana dalamnya, aku menahan nafas.
Kuselipkan tanganku masuk celana dalamnya.
Ternyata Ira sudah mencukur habis rambut
kemaluannya. Segera saja ku gesek-gesekkan
jari tengahku ke vaginanya.
”Hmmmff…..uuuaaaaaaahh…..aaaahh…
aaaahh…!”,naf asnya tersengal-sengal dan
desahannya berirama sesuai dengan gesekan
jariku.
Ira mencengkeram tanganku dengan kuat,
hingga buku-buku jarinya memutih.
Ekspresinya begitu merangsang, penisku yang
sedari tadi sudah tegang menjadi sangat tegang
sampai-sampai celana dalamku terasa bagai
belenggu, menyiksa ‘adik’ku.
”Gimana rasanya Ra? Enak?”,tanyaku
”Aaaahh…..e…uuuhhh…
enaaakk….enaaaakk…..aaaahh…!!”, jawabnya
setengah menjerit.
Melihatnya sangat mudah terangsang, aku
berinisiatif mengulum putingnya. Kuremas buah
dadanya dan kujilat-jilat.
”Ngggghh…..aaaaahh….aaaahh….iiyaaa….eee…
eeenaaakk… .tee..teruusss..”
Ira mulai meracau, sepertinya dia sudah amat
terangsang.
Kumainkan lidahku di putingnya dengan liar. Ira
semakin kelojotan.
”Aaahh…aaa..ada yang…
aaauuhh….mau….uuhh…keluaaaarrrhh!” ,katanya
dengan nafas yang tidak beraturan.
”Eh? Oh…keluarin aja nggak apa-apa!”,jawabku
sambil terus menjilati putingnya.
Sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat dan
menegang. Ira mencengkeram tangan kananku
kuat sekali, hingga kuku-kukunya menancap dan
melukai tanganku. Luka-luka itu berdarah, tapi
hal itu tak kupikirkan. Aku menikmati saat-saat
Ira orgasme sambil tersenyum.
”A..apa yang barusan itu?”,tanyanya dengan
nafas tersengal-sengal.
”Loh? Kamu belom tau?”,aku balik bertanya.
”Nggak…nggak tau…emang apaan?”,ujarnya
lemas, kehabisan tenaga.
”Itu yang namanya orgasme…masa sih kamu
gak tau?”,tanyaku heran.
”Ooh…sori..aku ga tau masalah begituan…
tapi..rasanya enak banget…gak bisa dijelasin pake
kata-kata”,Ira tersenyum.
Aku heran dan berpikir, “Berarti dia polos banget
sampe gak tau yang namanya orgasme. Lagian,
gampang banget dirangsang…coba ah yang
lebih.”
Aku meringis saat tanganku yang luka
bergesekkan dengan seragam yang kukenakan.
Ada sepuluh bekas kuku, semuanya meneteskan
darah segar. Aku berdiri dan mengambil sekotak
tissue di meja belajar Ira dan mulai mengelap
darah yang bercucuran.
”Itu…maaf…sakit ya?” , tanyanya dengan wajah
bersalah ketika melihat tanganku berdarah.
”Nggak…nggak apa-apa kok…hehehe…santai
aja!”, jawabku sambil tertawa.
”Aku jadi nggak enak…kamu abis kecelakaan
malah jadi tambah luka gara-gara aku”, desah
Ira.
”Udah…gak apa-apa…sekarang kamu diem yaa?”
aku berjalan ke arahnya.
Aku duduk disampingnya, tanganku menyelinap
ke dalam roknya dan melepas celana dalamnya
yang sudah basah. Ira tidak dapat berbuat apa-
apa, kelihatannya dia masih sangat lemas karena
orgasme barusan.
”Kamu mau ngapain Rif?” tanya Ira, kelihatannya
dia khawatir.
Aku hanya tersenyum menanggapi
pertanyaannya. Saat sudah kulepas, celana
dalamnya kulempar entah kemana, maklum,
nafsu udah di puncrit, kaga bisa nahan.
Kusingkap roknya hingga dekat pangkal paha,
memperlihatkan pahanya yang suangat mulus,
liurku menetes melihatnya. Ku elus-elus
pahanya.
”Aaaawwwhhh……”, Ira kembali mendesah
karena perlakuanku.
Kudekatkan wajahku kearah vaginanya. Vagina
yang begitu bersih, berwarna pink, tanpa ada
bulu sedikitpun dan aromanya enak. Wangi
parfum yang biasa dipakai Ira samar-samar
tercium, “Apa dia nyemprotin parfum ke sini
juga ya? Ah bodo amat!”
Ketika hambusan nafasku mengenai daerah
sensitifnya, dia berkata;
”Rif, mau ngapain kamu? Ntar…ntar dulu…aku
belum siap kalo sampai kayak gini…stop…
stoopp…aaaaahhhhh!!!”, Ira menjerit ketika
kubenamkan lidahku kedalam vaginanya.
Segera saja vaginanya kulumat, kujilat dengan
liar, kucium dan kugigit-gigit kecil.
Benar saja, kakinya mengejang setiap kali kugigit
klitorisnya.
”Aaaaaaaaaaaaahhhh…..aaaaahhhhh….uuuuhhh….sssshh…
s sshhh…..!!”, desahannya semakin menggila,
membuat ‘adik’ku ingin cepat
memproklamasikan kemerdekaan dari belenggu
penjajahan celana dalam.
Rasa nyeri menyerang ‘adik’ku ketika celana
dalam ini rasanya sudah kelewatan menyiksa,
tapi tetap kutahan. Di luar dugaan, Ira mulai
menangis, air matanya mulai mengalir disela-
sela desahan penuh kenikmatannya. Aku jadi
bingung, kuhentikan jilatanku.
”Ra, kamu kenapa nangis?”,tanyaku berdebar-
debar.
”Aku…udah capek Rif…aku udah nggak kuat kalo
kamu terus-terusan ngeginiin aku…”, katanya
dengan polos sambil terisak-isak.
Aku diam saja.
”Bukannya aku nggak mau, tapi aku udah capek
banget…dari tadi, badanku rasanya lemes…
tangan sama kakiku udah mati rasa. Aku udah
gak kuat.”, jelasnya.
Demi mendengar pengakuannya, ‘my little
brother’ yang sudah berkibar dengan gagahnya
seperti kehilangan tenaga, sontak ‘adik’ku lemas
lagi, bak nasionalis dibedil kompeni. Aku merasa
bersalah.
Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan ke lemari
pakaian Ira, mengambil satu celana dalam dan
memakaikannya pada Ira. Kubereskan sprei
yang acak-acakan akibat pertempuran tadi,
kurapikan bra-nya yang lepas dan kukancingkan
seragamnya. Kuangakat Ira dan kurebahkan
kepalanya di bantal kemudian kuselimuti dengan
selimut tebal. Ira menatapku dengan pandangan
heran.
”Rif? Kamu marah ya? Please, ngertiin aku…aku
capek banget…gak kuat”, ucapnya memelas.
Namun aku masih juga tidak berkata apapun.
”Ra, aku….sebenernya udah dari dulu mendam
perasaan ke kamu. Aku…aku…sayang sama
kamu…”, ucapku, aku tidak menyangka bakal
mengutarakan perasaanku di saat seperti ini.
Dia tertegun mendengar pernyataanku.
”Mmm…Rif…aku…”, sepertinya Ira mau
mengatakan sesuatu, tapi buru-buru kucium
bibirnya dan aku berlari keluar kamar.
Aku berjalan ke ruang tamu, memakai ranselku
dan mengambil helm. Saat aku keluar halaman
rumah Ira, kulihat motorku yang ringsek seperti
gelandangan digebuki Satpol PP. Aku nyengir;
“Hahahaha…shiit…aku pulang pake apaan nih?”,
kataku pada diri sendiri. Akhirnya aku pulang
jalan kaki sekitar 4,5 km ditemani hujan yang
sangat lebat.
Sesesampainya dirumah, ada secarik kertas
ditempel di pintu yang bertuliskan :
”Mama dan Papa pergi seminar di luar kota, kira-
kira satu minggu. Urus diri sendiri ya? Kalau ada
apa-apa, telpon Mama atau Papa.”
“Gila…aku idup pake apaan nih 1 minggu? Makan
kerikil?”, umpatku.
Malamnya badanku terasa tidak enak. Benar saja,
esok paginya aku demam tinggi, maka
kuputuskan untuk tidak masuk sekolah. Siang
harinya aku bangun kemudian mandi, tak lama
setelah itu, ada orang menggedor-gedor pintu
rumah dengan kasar.
Dengan sempoyongan aku membukakan pintu,
dihadapanku berdiri sesosok makhluk dengan
ukuran tidak manusiawi, tinggi besar dan hitam.
Tetapi setelah kuperhatikan, ternyata dia adalah
Setyo.
”Kok gak masuk tadi coy?”, tanya Setyo ceria.
”Loh? Tau darimana? Perasaan kita beda SMA
deh…”, aku kebingungan.
”Itu, Rangga tadi SMS, dia mau jenguk bareng
Tama, tapi ada tugas mendadak, jadi nggak
jadi.”, ujarnya sambil meringis-meringis.
“Ni orang otaknya kenapa sih?”, tanyaku dalam
hati.
”Oh, yaudah masuk dulu…aku demam coy…
kepalaku sakit banget…”, kataku sambil
mempersilahkan Setyo masuk.
”Nggak ah, makasih, aku mau
langsungan..hehehe”, jawab Setyo cengar-
cengir.
”Ini orang kenapa sih? Aku bener-bener nggak
ngerti”, pikirku.
“Aku pulang dulu ya Rif, cepet sembuh coy!”
kata Setyo sambil berjalan keluar gerbang
”Iyaa…makasih ya Dan!”, sahutku ceria.
Ketika Setyo telah pergi, ternyata tepat di
belakang tempat Setyo berdiri tadi ada sesosok
makhluk lain yang memperhatikanku, dia
mengenakan pakaian putih dan menyeringai.
Rasa dingin merayapiku.
”Woi! Kaya liat setan aja! Kenapa sih?”, tanya Ira
membuyarkan lamunan horrorku.
”Eh? Loh?”, tanyaku kebingungan.
“Emang mukaku kaya setan yaa?”, tanyanya lagi
dengan bibir manyun.
”Ah, bukan..bukan…tadi aku halusinasi…maaf.”,
jawabku.
“Jadiiii…..?” ,tanya Ira, dia tersenyum.
”Jadi apaan?” ,aku semakin kebingungan.
”Aku gak disuruh masuk atau gimana
gitu?” ,sindirnya sambil tertawa.
”Oh iya….maaf…ayo masuk…maaf
berantakan…” ,aku mempersilahkannya masuk.
Begitu aku membalikkan badan setelah
mengunci pintu, Ira tidak ada di ruang tamu.
Aku kebingungan…apakah yang kulihat tadi
hantu? Perasaanku jadi tidak enak, maka
kuputuskan untuk tidur lagi. Mungkin aku terlalu
lelah. Ketika aku masuk kamar, tiba-tiba pintu
kamarku tertutup sendiri. Aku mematung
ketakutan. Pelan-pelan aku menoleh ke belakang
dan melihat Ira sedang nyengir melihat reaksiku
dengan gayanya yang khas, kedua tangannya
dimasukkan saku jaketnya yang berwarna putih.
”Eh kunyuk, udah tau aku lagi sakit, masih aja
jail.” ,aku duduk di tepian tempat tidur sambil
menghela nafas.
”Iya maaf…hehehe…gimana sakitnya?” ,Ira
duduk disebelahku.
”Udah ada kamu, jadi aku udah gak apa-
apa.” ,aku menatap matanya sambil tersenyum.
Ira tampak terkejut mendengar jawabanku.
Sejenak kami saling berpandangan. Perasaan
hangat membuncah dari dalam hatiku…aku cinta
mati kepada cewek di hadapanku ini.
Matanya yang paling kusuka, mata yang teduh
itu, mata yang memancarkan ketenangan dan
kedewasaan yang begitu dalam.
”Ah iya. Aku bawa makanan nih. Tadi aku beli di
kantin.” ,katanya mengalihkan pembicaraan.
”Aku kan udah bilang. Kamu ada disini aja udah
cukup.” ,kataku sambil memeluknya dari
belakang, kulingkarkan tanganku di
pinggangnya, berharap Ira bisa merasakan
kehangatan yang mengalir dari hatiku.
Dia terdiam sesaat, sepertinya ia merasa
canggung. Tetapi tidak mengubah posisinya dan
melanjutkan menawari aku berbagai macam
makanan.
”Aku juga bawa buah loh. Mau nggak? Ada
macem-macem, ada apel, jeruk, pear. Mau yang
mana?” ,tanyanya dengan terburu-buru. Ira
mengeluarkan sebuah apel dari dalam tasnya.
“Kamu sekolah apa kondangan sih?” aku
mengejeknya
“Hehehhe…sekolah, tapi buku pelajaran udah aku
taruh dirumah tadi” Ira tertawa
Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Menikmati tiap detik yang kulalui, aku merasa
tenang mencium wangi tubuhnya. Aku…ingin
begini selamanya…
”Aku mau dong buahnya.” ,jawabku.
”Oh? Mau yang mana?” ,tangannya masih
menggenggam sebuah apel.
”Aku maauuu….” ,rengekku dengan manja.
”Iyaaa….mau yang mana ? Apel? Jeruk?
Pear?” ,jawabnya sambil tersenyum.
”Gaak….aku gamau semuanya….” ,bantahku.
”Loh? Katanya mau buah? Yang mana nih?” ,Ira
tampak kebingungan.
”Aku mau buah yang ini…” ,tanganku dengan
sigap melepas kancing seragam dan menyelinap
ke balik bh yang dipakainya. Kuremas-remas
buah dadanya dengan lembut.
”Aaaaaahh…..Rif jangan…!!” ,desah Ira, apel yang
ada ditangannya jatuh ke lantai.
Langsung saja kulumat bibirnya.
”Mmmmmhh…..mmmhh….!” ,Ira berusaha
mendesah, tetapi terhalang oleh bibirku.
Tangan kiriku menyusuri buah dadanya,
kemudian turun ke perut, masuk ke rok lalu
kuselipkan kedalam celana dalamnya. “Belum
basah.” ,pikirku. Kutarik tangan kiriku dan kujilat
jari tengahku, kemudian kuselipkan lagi masuk
celana dalamnya. Langsung saja kugesek-
gesekkan jariku ke vaginanya.
”Iyaaaaaaaahh….aaaaaaahhh….aaaaahhhhh….aawwh…
mmmhh …!!” ,Ira mendorong bibirku menjauh
agar bisa mendesah, nafasnya sudah tidak
beraturan.
Mulutku kini bebas. Langsung saja kupakai untuk
menciumi leher jenjangnya yang
menggairahkan. Beberapa menit aku mengerjai
Ira dengan menambah intens gesekan dan
remasan di tubuhnya tiap menit yang berlalu.
Kamarku kini dipenuhi suara desahan dan
lenguhan nikmat Ira.
”Aaakuu….aaaahhnn….aaaahh….nggghh….maauu….aaahh…
aa ahh….keluaaarr….uaaaaahh….!” ,pekiknya
tertahan.
Pahanya mengapit erat tangan kiriku, sementara
kedua tangannya mencengkeram tangan kiriku
juga. Kini kuku-kuku kedua tangannya kembali
menancap di tanganku, kali ini tangan kiri.
Tubuhnya mengejang hebat, sesaat kemudian
Ira jatuh terduduk di lantai kamarku. Nafasnya
tersengal-sengal, karpet lantai kamarku basah
oleh cairan orgasmenya.
”Ihiiy…ciyee…ciyeee…yang habis orgasme…
hahaha” ,candaku.
”Berisik! Diem lah kamu…! Haahaha” ,jawab Ira,
bibirnya bergetar hebat.
”Iya..iya…nambah juga nih koleksi tattoo di
tanganku. Kemarin yang kanan, sekarang yang
kiri…hahaha…” ,sindirku
“Ma…maaf…aku nggak sengaja…sungguh…”
”Iya, nggak apa-apa kok…” ,jawabku singkat
Kubantu dia berdiri, sesaat kami berpelukan,
kutatap matanya…mata yang indah yang selalu
kudambakan…kemudian kucium bibirnya
dengan lembut…
Kulepas sepatunya yang dari tadi masih
dipakainya dan kutidurkan dikasur. Aku
berbaring di sampingnya. Setelah nafasnya
teratur, tiba-tiba dia berdiri dan melepas rok
beserta celana dalamnya.
”Eh…eeh…mau ngapain kamu? Mabok
yah?” ,tanyaku terkejut sekaligus heran.
”Hehehehe…” ,Ira hanya terkekeh.
Sekarang dia hanya mengenakan seragam yang
sudah kusut dan kancingnya terbuka setengah,
tanpa rok maupun celana dalam. Sontak ‘adik’ku
menegang dengan hebatnya, jadi keras kayak
mayat siap dikubur.
Dengan cepat, Ira menidurkanku, sekarang
posisi kami 69, favoritku. Hehehehe…
Vaginanya tepat berada didepan wajahku.
”Ih…wooww…” ,gumamku takjub.
”Kenapa?” ,tanya Ira
”Unyuuuuuu…..hahaha” ,langsung saja kugesek-
gesek vaginanya dengan jari.
”Aaaaahh….na…nakal…!” ,desahnya dengan
manja
Ira mengelus-elus penisku dari luar celana yang
kukenakan. Geli gimana gitu. Jadi tambah tegang.
”Eh, Ra, kamu serius nih? Udah pernah kaya
ginian belum?” ,tanyaku tidak yakin
”He eh…santai aja. Belom…ini yang pertama.
Hehehe” ,dia membuka celanaku
”Apa gapapa nih? Yakin kamu?” ,aku masih
belum yakin.
”Iiih…gak percaya amat. Coba aku praktekin
kayak tadi malem waktu aku liat
bo…….kep?” ,kata-katanya sempat terhenti ketika
celana dalamku sudah terlepas dan ‘adik’ku
dengan gagah berdiri, dengan bentuk evolusi
akhir.
Aku pun agak kaget; “Woi! Itu kamu ‘dik’? Kamu
kenapa hah bisa sampe kaya gitu?” ,tanyaku
kepada sang ‘adik’ dalam hati.
“Hehehe…jadi malu…” ,aku tersenyum
”Wow…ternyata gini toh…anunya
cowok…” ,tatapnya penasaran sambil
memegang batang penisku. Rasanya aneh, tapi
enak.
”Eh, apa tadi malem kamu nonton
bokep?” ,tanyaku
”Iya…yaa walopun aku sempat muntah
ngeliatnya…baru pertama aku liat
bokep..” ,jawab Ira tersipu.
Tanpa ba bi bu, Ira langsung memasukkan
penisku ke mulutnya dengan agak canggung.
Dia jilati dari ujung ke pangkal. Rasa dingin
sekaligus hangat menyelimuti penisku. Tiap
gesekan dengan lidahnya membawa sensasi
nikmat, membuatku merinding.


Adult | GO HOME | Exit
1/627
U-ON

inc Powered by Xtgem.com